“Difficult Memories”
Velya Ramadhani
XI MIPA 7
Velya Ramadhani
XI MIPA 7
Mengapa
ia begitu mengesalkan? Tak terpikirkah diriku olehnya? Atau dia tak peduli
dengan orang lain? Sungguh memuakkan. Apa yang dia pikirkan? Kenapa harus ada
orang seperti dia di dunia ini? Apakah menggangguku begitu menyenangkan
baginya? Sungguh semua itu pertanyaan yang rumit. Entahlah.
***
Hari pertama sekolah, dengan langkah banggaku masuki
gerbang sekolahku. Tak terasa seragam tu telah berwarna putih abu-abu.
Masa-masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan, setidaknya begitulah
orang-orang menyebut tentang kehidupan SMA. Mulai dari kegiatan OSIS yang lebih
bermutu, sampai cinta monyet yang terjadi.
X Mipa 2, disitulah kehidupanku berawal. Tanpa basa basi
aku langsung pergi ke kelas tersebut. Sepanjang perjalanan, aku berfikir
bagaimanakah teman-teman kelasku nanti? Apakah dia ingin menerimaku? Saat
hendak memikirkan itu, tiba-tiba ada orang menabrakku sambil memegang sebotol susu
yang tutupnya terbuka. Aku pun langsung tersungkur ke tanah dan susu tersebut
menyirami seluruh bajuku. Dengan wajah tanpa dosa, dia pun langsung lari tanpa
terdengar “Maaf” dari mulutnya. Dia meninggalkanku sendirian dengan bau susu
ini.
Seperti yang dibayangkan, aku menghabiskan waktuku di
toilet untuk membersihkan noda susu ini yang baunya minta ampun. Namanya susu,
bau nya takkan hilang meski sudah dibersikan dengan air. Sial, semua ini
terjadi gara-gara orang itu. Pasti tak akan kumaafkan. Aku pun masuk kelas
dengan bau susu di mana-mana. Bisa dikatakan, semua orang menutup hidungnya dan
tak ada yang mau dekat denganku. Hati ini mencoba memaklumi apa yang terjadi
karena aku sendiri pun tak tahan dengan baunya.
Jam pertama, yaitu pengenalan. Keadaan iniku lakukan
dengan sorang diri tanpa ada yang mau duduk sebangku dengan ku. Ya, tidak lain
tidak bukan adalah bau ini. Rasanya aku ingin pulang kerumah dan mengganti
baju. Sayangnya, pak satpam tidak mengizinkannya. Tiba-tiba ada seorang yang
membanting pintu kelasku dengan keras, “Maaf, saya telat,” dengan suara
lantang. Semua mata terpana. Dia berjalan ke kelas dan mencari tempat duduk
yang kosong. Dia melihat ke arak bangku di sebelahku dan duduk di sana dan
berkata, “Kamu bau ya?” Tanpa dia sadari dialah penyebab bau ini.
***
Azka Arelya. Itulah nama gadis yang duduk di sebelahku.
Aku berharap tak akan mengenal dia. Kelakuannya membuatku muak. Setiap saat dia
selalu menganggu ku. Mungkin tak ada sedetik pun aku bisa duduk dengan tenang.
Sampai detik ini tidak ada kata maaf darinya akan kejadian hari pertama, yaitu
menumpahkan susu di bajuku. Justru sekarang kelakuannya malah menjadi-jadi. Dia
selalu mengaambil catatanku dengan seenaknya. Dia sungguh membuat hari-hari
terasa menyebalkan. Inikah kehidupan SMA yang menyenangkan seperti kata orang?
Azka selalu bertanya hal yang sama padaku. Seperti, “Kamu
lahir tanggal berapa? Kamu anak ke berapa? Kamu makan pakai tangan apa? Kenapa
kamu menulis pakai tangan kiri? Apakah tangan kananmu tidak terlalu berfungsi?”
Ya semacam pertanyaan bodoh itulah yang dia tanyakan setiap saat. Ditambah
dengan kelakuannya yang sungguh menyebalkan. Mengangguku setiap saat. Azka, ku
harap aku tak pernah mengenalmu.
Akhir-Akhir ini Azka jarang masuk sekolah. Apa yang terjadi
pada Azka? Aku khawatir? Haha, tidak. Ini adalah keajaiban untukku. Aku merasa
bebas dari godaan setan yang terkutuk. Layaknya bebas dari karantina. Aku
menghadapi hari-hariku dengan senyuman. Aku berharap dia tak pernah sekolah
lagi.
***
Forrum Annisa, adalah kegiatan yang dilakukan para murid
perempuan saat anak laki-laki pergi melaksanakan Shalat Jum’at bagi yang
beragama Islam. Di kelas kami, hari ini dijadwalkan untuk melaksanakan acara
memasak. Seperti bagaimana cara membuat gulai ayam, nasi gorang, sup, dan
lain-lain. Sialnya, aku pun satu grup dengan Azka. Dan grup ini membuat nasi
goreng. Bisa di tebak, Azka tidak bekerja sama sekali. Dia hanya berlari kian
kemari mencoba setiap masakan yang dimasak oleh kelompok lain. Terserah, aku
tak peduli dengannya.
Aku ditugaskan memotong bawang. Mataku perih gara-gara
memotong bawang ini. Teman-teman menertawakanku. Saat sedang bergelut dengan
temanku, tak kusadari tangan kiriku sedang memegang pisau tajam. Azka pun
lewat. Dan pisau tersebut menancap tepan di tangan kanan Azka. Darah bercucuran
di mana-mana. Azka terdiam melihat pisau tersebut menancap dalam di tangannya.
Sontak murid-murid lain panik tak karuan. “Bawa ke UKS cepat! Panggil guru!” Perintah
ketua kelasku dengan lantang.
Aku pun hanya diam melihat Azka yang dibawa ke UKS.
Tampak jawahnya pucat. Tapi dia tidak menangis sedikit pun. Aku merasa sangat
bersalah. Tapi, aku tidak sengaja melukai Azka. Apa yang harus aku lakukan?
Kaki ini berasa tak bisa digerakkan. Aku pun terduduk lunglai di atas lantai
menyadari apa yang telah aku lakukan kepada Azka.
Setelah kejadian itu, Azka tidak pernah masuk sekolah
lagi. Tak pernah ada kabar tentangnya. Aku penasaran apa yang terjadi. Apakah
gara-gara kejadian itu Azka tidak pernah ke sekolah lagi? Apakah dia marah
kepadaku? Apakah tangannya cacat seumur hidup? Ah, ini pertama kalinya aku
memikirkan Azka.
Aku yang selalu dihantui rasa bersalah pun mencari tahu
tentang Azka. Bertanya kepada setiap orang yang kukenal tentang keberadaan
Azka. Dan hasilnya, tidak ada satu pun yang tau keadaan atau di mana Azka
berada. Bahkan tidak ada yang tau di mana tempat tinggal Azka. Ini membuatku
semakin depresi. Aku selalu tak fokus mengerjakan suatu hal. Kehilangan Azka
membuatku tak bisa apa-apa. Kenangan yang sulit dilupakan.
***
Sudah satu bulan Azka tidak masuk sekolah. Tapi,
kekhawatiran ini tak kunjung padam. Aku hanya ingin tau bagaimana keadaanya
saat ini. Masih terekam jelas bentuk luka yang begitu dalam di tangan Azka.
Yah, tidak lain tidak bukan, itu adalah salahku.
Tak seperti biasanya, wali kelasku masuk ke kelas pada
saat jam pelajaran pertama. Tampak seorang laki-laki yang tak kukenal di
belakang mengikutinya. “Anak-anak, kita kedatangan murid baru,” kata wali
kelasku. “Perkenalkan, sama saya Radith. Saya pindah kemari karena pekerjaan
orang tua saya.” Mataku langsung tertuju
pada tangannya yang sedang di perban. Mungkin dia mengalami kecelakaan di jalan
raya.
Ketika jam pembelajaran olahraga, aku pergi ke kelas
mangambil sapu tangan. Aku pun melihat Radith di kelas sendirian dan mengangkat
gulungan lengan bajunya ke atas. Aku pun terkejut melihat bekas luka yang
memanjang di tangan kirinya. Seperti bekas tertancap sesuatu. Pikiran ku
langsung tertuju pasa Azka. luka yang ada pada tangan Radith tampak begitu
mirip dengan luka yang ku torehkan di tangan Azka. Tiba-tiba Radith melihatku
berdiri di pintu kelas sedang memperhatikannya. Dia pun tampak cemas dan
langsung berlari meninggalkan kelas. Kenapa dia begitu takut aku melihat
lukanya?
Sejak saat itu, aku sedikit canggung dengan Radith. Dia
seperti sedang menyembunyikan bekas luka tersebut dari semua warga kelas. Aku pun
bingung kenapa dia begitu cemas akan luka itu? Apakah dia dulu maling? Hingga
digerubuki massa yang anarkis sehingga tangannya seperti itu? Khayalanku pun
berimajinasi.
Aku sering melihat
Radith melintas di depan rumahku. Aku berfikir bahwa mungkin dia tinggal di
kompleks yang sama denganku. Tapi, aku tak pernah mendengar ada warga baru di
kompleks perumahanku ini. Atau mungkin dia menginap di rumah saudaranya yang
kebetulan tetanggaku? Kemungkinan itu bisa terjadi.
***
Saat akan presentasi di kelas, aku hendak ingin
mencolokkan kabel infocus. Tapi
sepertinya infocus rusak. Aku yang
hendak ingin mengangkut infocus tersebut
tersandung kabel dan terjatuh mengenai kaki Radith yang kebetulan sekelompok
denganku. “Aw, sakit,” katanya kesakitan. Sontak kaget aku pun tak langsung
meminta maaf kepadanya. Kata-kata yang diucapkan Radith tadi mirip dengan
seseorang. Azka! Ya Azka. Kata-kata itu sangat mirip dengan kata-kata Azka.
iramanya pun terasa sungguh mirip. Apakah hubungan orang ini dengan Azka?
“Apa kau kenal dengan Azka? Apakah kau saudaranya? Kemana
Azka selama ini? Atau semua itu hanya kebetulan saja?” Semua pertanyaan itu
tersimpan dalam fikiranku tapi tak ada keberanian untuk menyampaikan secara
langsung kepada Radith. Tidak mungkin dia kenalan Azka. Aku selalu meyakini
hatiku seperti itu.
***
Suasana di rumah sedikit berbeda. Papa selalu mendapat
tamu setiap saat. Dan pembicaraan mereka terasa berbisik-bisik berharap tak ada
yang tau apa yang sedang mereka bicarakan. Mengapa harus bisik-bisik? Siapa
yang peduli dengan urusan papa? Aku tak akan pernah ikut campur dengan urusan
papa selama ini. Aku pun pergi ke mini market hendak ingin membeli beberapa
cemilan. Tapi, di gang kecil sebelah rumahku aku bertemu Radith yang sedang
berdiri di situ bersama laki-lagi dewasa. Aku pun terkejut melihat Radith.
“Radith? Kamu ngapain di sini?” tanyaku pada Radith. Radith yang terlihat kaget
melihatku menjawab, “Eh, Nggak ada kok De, aku cuma sembunyi dari polisi yang
ngejar aku tadi. Aku nggak pake helm soalnya tadi,” jawabnya sedikit terbata.
Ini petama kalinya aku mendengar Radith berbicara. Karena di kelas, Radith
sangat jarang berbicara dengan orang lain. “Oh, gitu,” jawabku dan aku langsung
melanjutkan perjalanan ke mini market.
Sudah hampir dua bulan Radith bersekolah di SMA ini. Aku
semakin bertanya-tanya. Ucapan dan gerakan refleks Radith begitu mirip dengan
Azka. Meskipun dia selalu diam di kelas, tapi melihatnya selalu terbayang Azka.
Aku berfikir “Halusinasiku terlalu
tinggi.”
Aneh, sudah dua minggu papa tidak pulang. Ini membuatku
khawatir. Apa yang sedang terjadi pada papa. Papa selalu menelpon mama setiap
dua hari sekali. Dan papa selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Tapi, tak biasanya papa selama ini pergi.
Biasanya paling lama hanya empat hari. Itu pun papa sudah keluar negeri untuk
menghadiri seminar tentang bisnisnya. Karena papa selalu menelpon kami, jadi
itu membuatku sedikit tenang karena papa masih memikirkan keluarga kami.
Tapi, di saat itu pula Radith jarang masuk sekolah.
Mungkin Radith sakit. Karena surat yang datang ke sekolah menyatakan bahwa
Radith sakit. Karena tidak ada kerjaan di rumah, teman-temanku pun mengajak
untuk makan di luar setelah sepulang sekolah. Tempatnya agak sedikit jauh, dua
kali naik bus. Saat hendak trun dari bus, aku melihat papa lewat dengan
mengendarai mobil dan di saat itu pula Radith berada di belakangnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Radith
dan papa di sini? Mereka saling kenal? Lalu temanku menarik tangan ku dan masuk
ke café yang akan kami kunjungi itu.
***
Hari ini terasa sangat panas. Ya, aku sangat kegerahan. Aku
pun pergi ke kelas karena terik matahari tak tertahankan. Terlihat kelasku
kosong dari kejauhan. “Yes, kelas kosong. Bisa santai-santai nih,” kataku
kegirangan. Tapi kesenangan itu lenyap setelah melihat Radith di kelas seorang
diri sedang memegang handpone-ku.
“Ngapain kamu megang handpone-ku!?
Kamu mau nyuri HP ku ya!?” tanyaku marah. Radith pun menarikku ke dalam kelas
dan menutup pintu. Radith memegang tanganku dan berkata sangat pelan, “Dengar.
Aku melakukan ini semua demi kebaikanmu. Aku tak akan pernah ingin mengetahui
rahasia pribadimu. Ini demi kepentingan kamu. Aku harap kamu mengerti. “ Sorot
mata Radith begitu serius. Membuat aku seketika percaya dengan kata-katanya.
Dia pun pergi meninggalkan ku yang penuh dengan tanda tanya.
“Radith? Mengapa dia memegang handpone-ku? Apakah dia penasaran dengan ku? Padahal di dalam Hp ku
tidak ada yang penting. Mengapa?” Kata-kata itu selalu terfikir di benakku.
Radith pun tidak masuk kelas di pelajaran selanjutnya. Itu semakin membuatku
bertanya-tanya tentang Radith.
Aku berjalan ke rumah sorang diri. Tanpa ada yang
menemani. Yap, masih tentang Radith. Tentang kejadian tadi. Radith sungguh
membuatku penasaran. Di perjalanan pulang, aku melihat seseorang yang ku kenal
tepat berjalan di depanku sambil memperhatikan sesuatu. “Radith?” tanyaku
spontan. Radith pun terlihat sangat kaget dan tak membalas ucapanku. Dia
melihat ke belakangku dan langsung menarikku memasuki gang-gang di sekitar
rumahku. Aku dan Radith bersembunyi di
halaman rumah orang. “Hei, kamu ini ngapain sih? Mereka siapa?” tanyaku. Radith
menutup mulutku dengan tanganya. Aku terkejut , di tangan Radith ada bekas luka
yang ku lihat kemaren.. Azka! Ya, Azka. luka yang ku buat di tangan Azka.
“Azka. Kenapa luka di tangan Azka bisa ada padamu?” Radith terdiam. “Jelaskan
apa ini? Dari mana kamu dapat luka ini? Kenapa gaya bicaramu kadang mirip
dengan Azka?” tanyaku tak henti. “Aku ini Azka!” jawabnya. Aku sangat tak
percaya dengan apa yang dia bicarakan. Azka itu perempuan. Sedangkan dia
laki-laki. Itu adalah sesuatu yang sangat mustahil. “Mana mungkin kamu Azka.
Lihatlah, kamu itu seorang laki-laki. Azka itu perempuan. Aku tau itu,” jawabku
dengan nada marah. Radith tanpa menjawab pertanyaanku langsung menarikku pergi.
Di sebuah taman, di kompleks sebelah rumahku. Radith
mulai angkat bicara. “Aku Azka. Aku yang selama ini selalu menganggumu. Aku
yang menuangkan susu di bajumu. Percaya atau tidak, aku seorang Badan Intelejen
Negara. Aku seorang laki-laki berumur 16 tahun.”. Aku terdiam cukup lama.
Seakan tak percaya akan kata-kata Radith. “Kenapa kamu bisa berubah menjadi
seorang perempuan? Dan mengapa seorang intel berada di sini?” Tanyaku sambil
berlinang air mata. “Aku menyamar sebagai seorang wanita untuk mendekatimu. Aku
mendapat tugas di daerah ini.” Aku kaget, “Mendekatiku? Apa yang terjadi
padaku? Aku tidak melakukan kejahatan.” Radith mencoba menghapus air mataku
yang akhirnya turun. Kepalanya tertunduk kebawah seakan tak tahan melihatku
menangis. “Bukan kamu, ayahmu.” jawabnya lesu.
Keesokan harinya, Radith masuk sekolah. Aku selalu
memperhatikannya. Terlihat ada sesuatu yang menyumbat telinganya. Awalnya, aku
berfikir bahwa dia mendengarkan lagu. Tapi ekspresi Radith tak membuktikanya.
Dia terlihat seperti tidak fokus pada pelajaran. Dia seperti mendengar sesuatu
yang amat penting. Tiba-tiba, dia mengejutkanku dengan lari ke luar kelas tanpa
minta izin pada guru yang bersangkutan. Ekspresi kecemasan Radith menunjukkan
sesuatu buruk telah terjadi. Saat Radith berlari, terdengar suara jatuh.
Sepertinya ini earphone yang di
dengar Radith tadi. Aku penasaran dengan lagu apa yang di dengarnya. “Radith.
Korban sedang menuju tempat transaksi. Radith harap segera datang di gudang
lama.” Ini bukan lagu. Ini yang Radith dengarkan sejak tadi.
Bel istirahat makan siang pun berbunyi. Aku menyelinap
keluar dari sekolah sambil mendengarkan instruksi dari earphone Radith. Saking penasarannya, aku berniat mengejar Radith.
Koban? Mengapa kata-kata itu membuat aku terbayang Papa? Apakah korban yang
dimaksud itu Papa?
Aku pun sampai di bekas bangunan lama. Tempatnya sungguh
mengerikan. Aku pun masuk dan berjalan perlahan-lahan. Tidak ada tanda-tanda
ada kehidupan. Tapi aku tetap berjalan menyelusuri bangunan tua itu. Terdengar
samar-samar ada percakapan dari arah dalam gedung. Aku pun segera menuju tempat
tersebut. “Siapa kamu!?” terdengar suara lantang dari belakang ku. Saat aku
menoleh ke belakang pemandangan pertama yang ku lihat adalah todongan pistol
hitam yang tertodong di kepalaku. Aku sangat ketakutan. Sampai aku tak dapat
bicara. Orang tersebut menginstruksikanku untuk menuju lantai dua. Di sana kulihat
ada Papa yang sedang duduk bersama orang-orang berbadan kekar menggunakan jas
hitam. Papa dikelilingi orang-orang yang
menodongkan pistol ke arahnya. “Papa!!” Teriakanku memanggil papa. Papa pun
terkejut melihatku . Ada apa ini? Kenapa orang-orang ini?
Orang-orang ini memperlakukanku sungguh kasar. Aku pun
menangis. Terdengar suara tembakan dan salah seorang yang berpakaian jas hitam
pun jatuh ke tanah. Radith. Tembakan itu berasal dari Radith. Radith dan
beberapa orang yang mungkin temannya ini pun tak henti menembak orang-orang ber
jas hitam. Radith berusaha menyelamatkan aku dari hujan peluru ini. Tapi
tiba-tiba ada cipratan darah mengenai seragamku. Itu darah Radith. Radith
terkena tembakan di tangan dan bahunya. Tapi Radith tetap membawaku ke tempat
yang aman. Orang-orang berpakaian hitam beruliskan BIN (Badan Intellejen
Negara) itu segera menolong papaku. Dengan wajah kesakitan Radith membawaku
keluar dari bangunan itu. Radith dengan dua tembakan di badannya terkulai tak
berdaya di luar bangunan. Orang-orang yang bertuliskan BIN (Badan Intelejen
Negara) itu langsung menghubungi Ambulan
dan menggotong Radith menuju rumah sakit.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak tau apa yang telah
terjadi. Radith? Di mana Radith? Papa? Apakah Papa selamat? Salah seorang BIN
menghampiriku dan berusaha menenagkanku. “Dik, Papa kamu selamat, sekarang dia
ada di dalam mobil kami. Papamu telah di
tipu orang. Dan sekarang dia diancam oleh mafia besar untuk menandatangani kontrak perusahaan yang
terlibat dengan narkoba. Lebih tepatnya, kokain. Karena itulah kami mengirim
Radith untuk memata-matai Papamu.”
Setelah diminta keterangan oleh BIN, aku dan papaku di
izinkan pulang ke rumah. Tapi di perjalanan, aku meminta papaku untuk
mengantarkanku ke rumah sakit Ibnu Sina, tempat Radith dibawa. Papa hanya
tersenyum dan mengantarku ke rumah sakit tersebut. setelah sampai di rumah
sakit. Aku langsung mencari di mana Radith. Kamar nomor 25. Tanpa pikir
panjang, aku langsung berlari ke kamar tersebut. Kulihat Radith dengan perban
di tangan dan bahunya sedang duduk di atas tempat tidur. Aku masuk ke kamar
tersebut dan duduk di sebelah Radith. “Maaf, aku telah membuatmu seperti ini.
Andaikan aku tak datang, mungkin kamu tidak akan mengalami hal seperti ini.
Maaf, hanya kata maaf yang bisa ku katakan. Tak seharusnya aku mendengarkan apa
yang seharusnya tak aku dengarkan.”. Aku menangis sambil memberikan earphone Radith.
“Aku
ingin kau bertanggung jawab atas semua kejadian ini.”
“Bertanggung jawab?”
“Ya, aku ingin kau bertanggung jawab atas semua kejadian
ini.”
“Apa yang harus ku lakukan?”
“Jadilah milikku.”
-End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar