Sabtu, 29 Oktober 2016

Contoh Cerpen B. Indonesia Menarik

            
Difficult Memories”
Velya Ramadhani
XI MIPA 7

Mengapa ia begitu mengesalkan? Tak terpikirkah diriku olehnya? Atau dia tak peduli dengan orang lain? Sungguh memuakkan. Apa yang dia pikirkan? Kenapa harus ada orang seperti dia di dunia ini? Apakah menggangguku begitu menyenangkan baginya? Sungguh semua itu pertanyaan yang rumit. Entahlah.
***
            Hari pertama sekolah, dengan langkah banggaku masuki gerbang sekolahku. Tak terasa seragam tu telah berwarna putih abu-abu. Masa-masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan, setidaknya begitulah orang-orang menyebut tentang kehidupan SMA. Mulai dari kegiatan OSIS yang lebih bermutu, sampai cinta monyet yang terjadi.
            X Mipa 2, disitulah kehidupanku berawal. Tanpa basa basi aku langsung pergi ke kelas tersebut. Sepanjang perjalanan, aku berfikir bagaimanakah teman-teman kelasku nanti? Apakah dia ingin menerimaku? Saat hendak memikirkan itu, tiba-tiba ada orang menabrakku sambil memegang sebotol susu yang tutupnya terbuka. Aku pun langsung tersungkur ke tanah dan susu tersebut menyirami seluruh bajuku. Dengan wajah tanpa dosa, dia pun langsung lari tanpa terdengar “Maaf” dari mulutnya. Dia meninggalkanku sendirian dengan bau susu ini.
            Seperti yang dibayangkan, aku menghabiskan waktuku di toilet untuk membersihkan noda susu ini yang baunya minta ampun. Namanya susu, bau nya takkan hilang meski sudah dibersikan dengan air. Sial, semua ini terjadi gara-gara orang itu. Pasti tak akan kumaafkan. Aku pun masuk kelas dengan bau susu di mana-mana. Bisa dikatakan, semua orang menutup hidungnya dan tak ada yang mau dekat denganku. Hati ini mencoba memaklumi apa yang terjadi karena aku sendiri pun tak tahan dengan baunya.
            Jam pertama, yaitu pengenalan. Keadaan iniku lakukan dengan sorang diri tanpa ada yang mau duduk sebangku dengan ku. Ya, tidak lain tidak bukan adalah bau ini. Rasanya aku ingin pulang kerumah dan mengganti baju. Sayangnya, pak satpam tidak mengizinkannya. Tiba-tiba ada seorang yang membanting pintu kelasku dengan keras, “Maaf, saya telat,” dengan suara lantang. Semua mata terpana. Dia berjalan ke kelas dan mencari tempat duduk yang kosong. Dia melihat ke arak bangku di sebelahku dan duduk di sana dan berkata, “Kamu bau ya?” Tanpa dia sadari dialah penyebab bau ini.

***
            Azka Arelya. Itulah nama gadis yang duduk di sebelahku. Aku berharap tak akan mengenal dia. Kelakuannya membuatku muak. Setiap saat dia selalu menganggu ku. Mungkin tak ada sedetik pun aku bisa duduk dengan tenang. Sampai detik ini tidak ada kata maaf darinya akan kejadian hari pertama, yaitu menumpahkan susu di bajuku. Justru sekarang kelakuannya malah menjadi-jadi. Dia selalu mengaambil catatanku dengan seenaknya. Dia sungguh membuat hari-hari terasa menyebalkan. Inikah kehidupan SMA yang menyenangkan seperti kata orang?
            Azka selalu bertanya hal yang sama padaku. Seperti, “Kamu lahir tanggal berapa? Kamu anak ke berapa? Kamu makan pakai tangan apa? Kenapa kamu menulis pakai tangan kiri? Apakah tangan kananmu tidak terlalu berfungsi?” Ya semacam pertanyaan bodoh itulah yang dia tanyakan setiap saat. Ditambah dengan kelakuannya yang sungguh menyebalkan. Mengangguku setiap saat. Azka, ku harap aku tak pernah mengenalmu.
            Akhir-Akhir ini Azka jarang masuk sekolah. Apa yang terjadi pada Azka? Aku khawatir? Haha, tidak. Ini adalah keajaiban untukku. Aku merasa bebas dari godaan setan yang terkutuk. Layaknya bebas dari karantina. Aku menghadapi hari-hariku dengan senyuman. Aku berharap dia tak pernah sekolah lagi.
***
            Forrum Annisa, adalah kegiatan yang dilakukan para murid perempuan saat anak laki-laki pergi melaksanakan Shalat Jum’at bagi yang beragama Islam. Di kelas kami, hari ini dijadwalkan untuk melaksanakan acara memasak. Seperti bagaimana cara membuat gulai ayam, nasi gorang, sup, dan lain-lain. Sialnya, aku pun satu grup dengan Azka. Dan grup ini membuat nasi goreng. Bisa di tebak, Azka tidak bekerja sama sekali. Dia hanya berlari kian kemari mencoba setiap masakan yang dimasak oleh kelompok lain. Terserah, aku tak peduli dengannya.
            Aku ditugaskan memotong bawang. Mataku perih gara-gara memotong bawang ini. Teman-teman menertawakanku. Saat sedang bergelut dengan temanku, tak kusadari tangan kiriku sedang memegang pisau tajam. Azka pun lewat. Dan pisau tersebut menancap tepan di tangan kanan Azka. Darah bercucuran di mana-mana. Azka terdiam melihat pisau tersebut menancap dalam di tangannya. Sontak murid-murid lain panik tak karuan. “Bawa ke UKS cepat! Panggil guru!” Perintah ketua kelasku dengan lantang.
            Aku pun hanya diam melihat Azka yang dibawa ke UKS. Tampak jawahnya pucat. Tapi dia tidak menangis sedikit pun. Aku merasa sangat bersalah. Tapi, aku tidak sengaja melukai Azka. Apa yang harus aku lakukan? Kaki ini berasa tak bisa digerakkan. Aku pun terduduk lunglai di atas lantai menyadari apa yang telah aku lakukan kepada Azka.
            Setelah kejadian itu, Azka tidak pernah masuk sekolah lagi. Tak pernah ada kabar tentangnya. Aku penasaran apa yang terjadi. Apakah gara-gara kejadian itu Azka tidak pernah ke sekolah lagi? Apakah dia marah kepadaku? Apakah tangannya cacat seumur hidup? Ah, ini pertama kalinya aku memikirkan Azka.
            Aku yang selalu dihantui rasa bersalah pun mencari tahu tentang Azka. Bertanya kepada setiap orang yang kukenal tentang keberadaan Azka. Dan hasilnya, tidak ada satu pun yang tau keadaan atau di mana Azka berada. Bahkan tidak ada yang tau di mana tempat tinggal Azka. Ini membuatku semakin depresi. Aku selalu tak fokus mengerjakan suatu hal. Kehilangan Azka membuatku tak bisa apa-apa. Kenangan yang sulit dilupakan.
***
            Sudah satu bulan Azka tidak masuk sekolah. Tapi, kekhawatiran ini tak kunjung padam. Aku hanya ingin tau bagaimana keadaanya saat ini. Masih terekam jelas bentuk luka yang begitu dalam di tangan Azka. Yah, tidak lain tidak bukan, itu adalah salahku.
            Tak seperti biasanya, wali kelasku masuk ke kelas pada saat jam pelajaran pertama. Tampak seorang laki-laki yang tak kukenal di belakang mengikutinya. “Anak-anak, kita kedatangan murid baru,” kata wali kelasku. “Perkenalkan, sama saya Radith. Saya pindah kemari karena pekerjaan orang tua saya.” Mataku langsung  tertuju pada tangannya yang sedang di perban. Mungkin dia mengalami kecelakaan di jalan raya.
            Ketika jam pembelajaran olahraga, aku pergi ke kelas mangambil sapu tangan. Aku pun melihat Radith di kelas sendirian dan mengangkat gulungan lengan bajunya ke atas. Aku pun terkejut melihat bekas luka yang memanjang di tangan kirinya. Seperti bekas tertancap sesuatu. Pikiran ku langsung tertuju pasa Azka. luka yang ada pada tangan Radith tampak begitu mirip dengan luka yang ku torehkan di tangan Azka. Tiba-tiba Radith melihatku berdiri di pintu kelas sedang memperhatikannya. Dia pun tampak cemas dan langsung berlari meninggalkan kelas. Kenapa dia begitu takut aku melihat lukanya?
            Sejak saat itu, aku sedikit canggung dengan Radith. Dia seperti sedang menyembunyikan bekas luka tersebut dari semua warga kelas. Aku pun bingung kenapa dia begitu cemas akan luka itu? Apakah dia dulu maling? Hingga digerubuki massa yang anarkis sehingga tangannya seperti itu? Khayalanku pun berimajinasi.
            Aku  sering melihat Radith melintas di depan rumahku. Aku berfikir bahwa mungkin dia tinggal di kompleks yang sama denganku. Tapi, aku tak pernah mendengar ada warga baru di kompleks perumahanku ini. Atau mungkin dia menginap di rumah saudaranya yang kebetulan tetanggaku? Kemungkinan itu bisa terjadi.
***
            Saat akan presentasi di kelas, aku hendak ingin mencolokkan kabel infocus. Tapi sepertinya infocus rusak. Aku yang hendak ingin mengangkut infocus tersebut tersandung kabel dan terjatuh mengenai kaki Radith yang kebetulan sekelompok denganku. “Aw, sakit,” katanya kesakitan. Sontak kaget aku pun tak langsung meminta maaf kepadanya. Kata-kata yang diucapkan Radith tadi mirip dengan seseorang. Azka! Ya Azka. Kata-kata itu sangat mirip dengan kata-kata Azka. iramanya pun terasa sungguh mirip. Apakah hubungan orang ini dengan Azka?
            “Apa kau kenal dengan Azka? Apakah kau saudaranya? Kemana Azka selama ini? Atau semua itu hanya kebetulan saja?” Semua pertanyaan itu tersimpan dalam fikiranku tapi tak ada keberanian untuk menyampaikan secara langsung kepada Radith. Tidak mungkin dia kenalan Azka. Aku selalu meyakini hatiku seperti itu.
***
            Suasana di rumah sedikit berbeda. Papa selalu mendapat tamu setiap saat. Dan pembicaraan mereka terasa berbisik-bisik berharap tak ada yang tau apa yang sedang mereka bicarakan. Mengapa harus bisik-bisik? Siapa yang peduli dengan urusan papa? Aku tak akan pernah ikut campur dengan urusan papa selama ini. Aku pun pergi ke mini market hendak ingin membeli beberapa cemilan. Tapi, di gang kecil sebelah rumahku aku bertemu Radith yang sedang berdiri di situ bersama laki-lagi dewasa. Aku pun terkejut melihat Radith. “Radith? Kamu ngapain di sini?” tanyaku pada Radith. Radith yang terlihat kaget melihatku menjawab, “Eh, Nggak ada kok De, aku cuma sembunyi dari polisi yang ngejar aku tadi. Aku nggak pake helm soalnya tadi,” jawabnya sedikit terbata. Ini petama kalinya aku mendengar Radith berbicara. Karena di kelas, Radith sangat jarang berbicara dengan orang lain. “Oh, gitu,” jawabku dan aku langsung melanjutkan perjalanan ke mini market.
            Sudah hampir dua bulan Radith bersekolah di SMA ini. Aku semakin bertanya-tanya. Ucapan dan gerakan refleks Radith begitu mirip dengan Azka. Meskipun dia selalu diam di kelas, tapi melihatnya selalu terbayang Azka. Aku berfikir  “Halusinasiku terlalu tinggi.”
            Aneh, sudah dua minggu papa tidak pulang. Ini membuatku khawatir. Apa yang sedang terjadi pada papa. Papa selalu menelpon mama setiap dua hari sekali. Dan papa selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja.  Tapi, tak biasanya papa selama ini pergi. Biasanya paling lama hanya empat hari. Itu pun papa sudah keluar negeri untuk menghadiri seminar tentang bisnisnya. Karena papa selalu menelpon kami, jadi itu membuatku sedikit tenang karena papa masih memikirkan keluarga kami.
            Tapi, di saat itu pula Radith jarang masuk sekolah. Mungkin Radith sakit. Karena surat yang datang ke sekolah menyatakan bahwa Radith sakit. Karena tidak ada kerjaan di rumah, teman-temanku pun mengajak untuk makan di luar setelah sepulang sekolah. Tempatnya agak sedikit jauh, dua kali naik bus. Saat hendak trun dari bus, aku melihat papa lewat dengan mengendarai mobil dan di saat itu pula Radith berada di belakangnya.  Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Radith dan papa di sini? Mereka saling kenal? Lalu temanku menarik tangan ku dan masuk ke café yang akan kami kunjungi itu.
***
            Hari ini terasa sangat panas. Ya, aku sangat kegerahan. Aku pun pergi ke kelas karena terik matahari tak tertahankan. Terlihat kelasku kosong dari kejauhan. “Yes, kelas kosong. Bisa santai-santai nih,” kataku kegirangan. Tapi kesenangan itu lenyap setelah melihat Radith di kelas seorang diri sedang memegang handpone-ku. “Ngapain kamu megang handpone-ku!? Kamu mau nyuri HP ku ya!?” tanyaku marah. Radith pun menarikku ke dalam kelas dan menutup pintu. Radith memegang tanganku dan berkata sangat pelan, “Dengar. Aku melakukan ini semua demi kebaikanmu. Aku tak akan pernah ingin mengetahui rahasia pribadimu. Ini demi kepentingan kamu. Aku harap kamu mengerti. “ Sorot mata Radith begitu serius. Membuat aku seketika percaya dengan kata-katanya. Dia pun pergi meninggalkan ku yang penuh dengan tanda tanya.
            “Radith? Mengapa dia memegang handpone-ku? Apakah dia penasaran dengan ku? Padahal di dalam Hp ku tidak ada yang penting. Mengapa?” Kata-kata itu selalu terfikir di benakku. Radith pun tidak masuk kelas di pelajaran selanjutnya. Itu semakin membuatku bertanya-tanya tentang Radith.
            Aku berjalan ke rumah sorang diri. Tanpa ada yang menemani. Yap, masih tentang Radith. Tentang kejadian tadi. Radith sungguh membuatku penasaran. Di perjalanan pulang, aku melihat seseorang yang ku kenal tepat berjalan di depanku sambil memperhatikan sesuatu. “Radith?” tanyaku spontan. Radith pun terlihat sangat kaget dan tak membalas ucapanku. Dia melihat ke belakangku dan langsung menarikku memasuki gang-gang di sekitar rumahku.  Aku dan Radith bersembunyi di halaman rumah orang. “Hei, kamu ini ngapain sih? Mereka siapa?” tanyaku. Radith menutup mulutku dengan tanganya. Aku terkejut , di tangan Radith ada bekas luka yang ku lihat kemaren.. Azka! Ya, Azka. luka yang ku buat di tangan Azka. “Azka. Kenapa luka di tangan Azka bisa ada padamu?” Radith terdiam. “Jelaskan apa ini? Dari mana kamu dapat luka ini? Kenapa gaya bicaramu kadang mirip dengan Azka?” tanyaku tak henti. “Aku ini Azka!” jawabnya. Aku sangat tak percaya dengan apa yang dia bicarakan. Azka itu perempuan. Sedangkan dia laki-laki. Itu adalah sesuatu yang sangat mustahil. “Mana mungkin kamu Azka. Lihatlah, kamu itu seorang laki-laki. Azka itu perempuan. Aku tau itu,” jawabku dengan nada marah. Radith tanpa menjawab pertanyaanku langsung menarikku pergi.
            Di sebuah taman, di kompleks sebelah rumahku. Radith mulai angkat bicara. “Aku Azka. Aku yang selama ini selalu menganggumu. Aku yang menuangkan susu di bajumu. Percaya atau tidak, aku seorang Badan Intelejen Negara. Aku seorang laki-laki berumur 16 tahun.”. Aku terdiam cukup lama. Seakan tak percaya akan kata-kata Radith. “Kenapa kamu bisa berubah menjadi seorang perempuan? Dan mengapa seorang intel berada di sini?” Tanyaku sambil berlinang air mata. “Aku menyamar sebagai seorang wanita untuk mendekatimu. Aku mendapat tugas di daerah ini.” Aku kaget, “Mendekatiku? Apa yang terjadi padaku? Aku tidak melakukan kejahatan.” Radith mencoba menghapus air mataku yang akhirnya turun. Kepalanya tertunduk kebawah seakan tak tahan melihatku menangis. “Bukan kamu, ayahmu.” jawabnya lesu. 
            Keesokan harinya, Radith masuk sekolah. Aku selalu memperhatikannya. Terlihat ada sesuatu yang menyumbat telinganya. Awalnya, aku berfikir bahwa dia mendengarkan lagu. Tapi ekspresi Radith tak membuktikanya. Dia terlihat seperti tidak fokus pada pelajaran. Dia seperti mendengar sesuatu yang amat penting. Tiba-tiba, dia mengejutkanku dengan lari ke luar kelas tanpa minta izin pada guru yang bersangkutan. Ekspresi kecemasan Radith menunjukkan sesuatu buruk telah terjadi. Saat Radith berlari, terdengar suara jatuh. Sepertinya ini earphone yang di dengar Radith tadi. Aku penasaran dengan lagu apa yang di dengarnya. “Radith. Korban sedang menuju tempat transaksi. Radith harap segera datang di gudang lama.” Ini bukan lagu. Ini yang Radith dengarkan sejak tadi.
            Bel istirahat makan siang pun berbunyi. Aku menyelinap keluar dari sekolah sambil mendengarkan instruksi dari earphone Radith. Saking penasarannya, aku berniat mengejar Radith. Koban? Mengapa kata-kata itu membuat aku terbayang Papa? Apakah korban yang dimaksud itu Papa?
            Aku pun sampai di bekas bangunan lama. Tempatnya sungguh mengerikan. Aku pun masuk dan berjalan perlahan-lahan. Tidak ada tanda-tanda ada kehidupan. Tapi aku tetap berjalan menyelusuri bangunan tua itu. Terdengar samar-samar ada percakapan dari arah dalam gedung. Aku pun segera menuju tempat tersebut. “Siapa kamu!?” terdengar suara lantang dari belakang ku. Saat aku menoleh ke belakang pemandangan pertama yang ku lihat adalah todongan pistol hitam yang tertodong di kepalaku. Aku sangat ketakutan. Sampai aku tak dapat bicara. Orang tersebut menginstruksikanku untuk menuju lantai dua. Di sana kulihat ada Papa yang sedang duduk bersama orang-orang berbadan kekar menggunakan jas hitam.  Papa dikelilingi orang-orang yang menodongkan pistol ke arahnya. “Papa!!” Teriakanku memanggil papa. Papa pun terkejut melihatku . Ada apa ini? Kenapa orang-orang ini?
            Orang-orang ini memperlakukanku sungguh kasar. Aku pun menangis. Terdengar suara tembakan dan salah seorang yang berpakaian jas hitam pun jatuh ke tanah. Radith. Tembakan itu berasal dari Radith. Radith dan beberapa orang yang mungkin temannya ini pun tak henti menembak orang-orang ber jas hitam. Radith berusaha menyelamatkan aku dari hujan peluru ini. Tapi tiba-tiba ada cipratan darah mengenai seragamku. Itu darah Radith. Radith terkena tembakan di tangan dan bahunya. Tapi Radith tetap membawaku ke tempat yang aman. Orang-orang berpakaian hitam beruliskan BIN (Badan Intellejen Negara) itu segera menolong papaku. Dengan wajah kesakitan Radith membawaku keluar dari bangunan itu. Radith dengan dua tembakan di badannya terkulai tak berdaya di luar bangunan. Orang-orang yang bertuliskan BIN (Badan Intelejen Negara)  itu langsung menghubungi Ambulan dan menggotong Radith menuju rumah sakit.
            Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak tau apa yang telah terjadi. Radith? Di mana Radith? Papa? Apakah Papa selamat? Salah seorang BIN menghampiriku dan berusaha menenagkanku. “Dik, Papa kamu selamat, sekarang dia ada di dalam mobil kami.  Papamu telah di tipu orang. Dan sekarang dia diancam oleh mafia besar  untuk menandatangani kontrak perusahaan yang terlibat dengan narkoba. Lebih tepatnya, kokain. Karena itulah kami mengirim Radith untuk memata-matai Papamu.”
            Setelah diminta keterangan oleh BIN, aku dan papaku di izinkan pulang ke rumah. Tapi di perjalanan, aku meminta papaku untuk mengantarkanku ke rumah sakit Ibnu Sina, tempat Radith dibawa. Papa hanya tersenyum dan mengantarku ke rumah sakit tersebut. setelah sampai di rumah sakit. Aku langsung mencari di mana Radith. Kamar nomor 25. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke kamar tersebut. Kulihat Radith dengan perban di tangan dan bahunya sedang duduk di atas tempat tidur. Aku masuk ke kamar tersebut dan duduk di sebelah Radith. “Maaf, aku telah membuatmu seperti ini. Andaikan aku tak datang, mungkin kamu tidak akan mengalami hal seperti ini. Maaf, hanya kata maaf yang bisa ku katakan. Tak seharusnya aku mendengarkan apa yang seharusnya tak aku dengarkan.”. Aku menangis sambil memberikan earphone Radith.
“Aku ingin kau bertanggung jawab atas semua kejadian ini.”
            “Bertanggung jawab?”
            “Ya, aku ingin kau bertanggung jawab atas semua kejadian ini.”
            “Apa yang harus ku lakukan?”

            “Jadilah milikku.”

-End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar